
Aksiologi Pernikahan: Jalan Suci Menuju Cinta-Nya
Oleh: Rabiatul Adawiah
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk sebuah keluarga. Di dalamnya ada komitmen yang kuat untuk saling mencintai, menyayangi, menghargai, dan saling menghormati. Pernikahan dalam Islam merupakan ibadah dan dianjurkan, dalam hadits dari Aisyah ra., Rasulullah Saw. bersabda:
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي وتَزَوَّجُوا فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ ومَنْ كان ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ (رواه ابن ماجه). [1]
“Dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Nikah termasuk sunnahku. Barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku, ia tidak termasuk golonganku. Menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku. Barangsiapa memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah.”(HR. Ibnu Majah)”.
Secara ontologis[2], menikah adalah perjalanan jiwa yang penuh makna, penyatuan dua hati yang berjalan bersama menuju kesadaran akan kehadiran Ilahi. Dalam keheningan batin, kita diingatkan bahwa pernikahan bukanlah sekadar hubungan fisik, melainkan sebuah panggilan untuk mengenal diri dan mendalami cinta-Nya. Mencintai Allah berarti mencintai apa yang diwajibkan Allah, mencintai Rasul-Nya dan mencintai apa-apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya.
Pernikahan sebagai salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama. Ketika seseorang menikah maka separuh agamanya menjadi sempurna. Pernikahan dianggap sebagai sarana untuk menjaga kesucian dan menghindari perilaku yang tidak diinginkan. Dalam hadis dari Anas ra. dijelaskan:
عَن أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ رَزَقَهُ اللَّهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِينِهِ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ فِي الشَّطْرِ الْبَاقِي.(رواه البيهقي).[3]
“Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Barang siapa yang diberikan oleh Allah seorang istri yang shalihah, maka dia telah dibantu dalam setengah agamanya. Maka, hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi)
Jika dalam pernikahan menemukan pasangan yang kurang cocok atau seolah seperti ujian, maka berhentilah sejenak (renungkan), tarik napas panjang, dan sadari bahwa tidak ada kejadian yang terjadi tanpa rencana-Nya. Allah telah menentukan dan menetapkan bahwa sebelum seseorang terlahir siapa nanti yang akan menjadi pasangannya dan yang akan menemani dalam kehidupan bersama suka maupun duka. Itu adalah takdir yang penuh hikmah, bukan sebuah kekeliruan apalagi kesalahan. Bahkan itu adalah kesempurnaan keberadaan diri karena pasanganmu adalah cerminan dirimu. Konsep ini dalam Islam merujuk pada ayat Al-Qur’an surah An-Nur ayat 26, yang menyatakan bahwa orang baik akan berjodoh dengan orang baik dan sebaliknya. Tentu sebagai cerminan diri bukan berarti identik secara mutlak, melainkan sebagai refleksi yang membantu pertumbuhan dan pemahaman diri melalui hubungan yang saling melengkapi dan berkembang bersama.
Dalam pernikahan terkadang mungkin seseorang kecewa atau terluka oleh pasangannya, maka sikap terbaik bukan menjauh atau bercerai, namun sadari dalam keheningan (tafakkur) bahwa mungkin ini adalah cara Allah menyentuh hati bahwa dalam setiap rasa sakit ada sapaan lembut-Nya. Dan ini menjadi pengingat bahwa dalam kesabaran dan penerimaan ada makna cinta yang sejati. Cinta sejati adalah saling memberi dan mengerti bukan saling menuntut dan ingin selalu dimengerti.
Perjalanan pernikahan memang tidak mudah dan penuh tantangan. Ada saat ketika air mata mengalir, emosi merajalela, kelelahan muncul, dan mungkin hati berkata: “Mengapa harus melalui ini?” atau “Mengapa ini terjadi ?”. Solusi alternatif yang baik adalah lihatlah pasangan dalam keheningan kesadaran dan pandangan yang lebih luas bahwa kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempurnaannya adalah cerminan dari diri sendiri yang sedang dan terus diperbaiki oleh Allah. Di sini memberikan pemahaman bahwa kebahagiaan sejati hanya bersumber dari cinta-Nya yang abadi, dan bukan pasangan yang menjadi sumber kebahagiaan. Oleh karenanya cintailah istri atau suami karena Allah dan betapa indah ketika saling mencintai atau menyayangi karena Allah. Hal ini seperti digambarkan oleh Rasulullah Saw.:
مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الأَعْضَاءَ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى .
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota badannya sakit, maka seluruh tubuhnya merasakan sakit tidak dapat tidur dan demam (panas).” [4]
Mencintai karena Allah, dan bukan karena sesuatu yang lain dalam kehidupan memang tidak mudah dan ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hati yang suci. Maka tidak heran kalau Allah memberikan kedudukan dan kemuliaan kepada mereka. Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan syuhada, tetapi para nabi dan syuhada cemburu kepada mereka. Lalu ada orang bertanya, ‘Siapakah gerangan mereka itu barangkali kami dapat mencintai mereka? Beliau menjawab, ‘Mereka adalah kaum yang saling mencintai dengan cahaya Allah, bukan karena kekeluargaan, atau keturunan. Wajah mereka bagai cahaya, mereka berada di mimbar-mimbar cahaya, mereka tidak merasa takut ketika orang-orang sedang ketakutan dan tidak merasa sedih ketika orang-orang sedang bersedih. Kemudian beliau membaca ayat (Yunus : 62) : ‘Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) merasa bersedih hati.’” [5]
Ketika mencintai pasangan bukan karena kesempurnaannya, tetapi karena Allah, maka ketika melihat kekurangannya akan menjadi kesempurnaan-Nya, dan dapat melihat perjuangan di balik diamnya, kelembutan di balik kemarahannya, dan menerima kelemahannya dengan kasih sayang yang tulus. Dan menyadari bahwa diri ini juga banyak kelemahan yang Allah tutupi karena rahmat-Nya.
Demikian aksiologi[6] pernikahan, bahwa dalam pernikahan ada perjalanan spiritual yang membawa dua jiwa lebih dekat kepada Allah. Setiap momen, baik suka maupun duka, adalah cara Allah menunjukkan cinta-Nya. Dan ujian pernikahan sesungguhnya merupakan jalan menuju cinta-Nya, Sang Pemilik Cinta Abadi. “Wallahu a’lam bishawab”
———————–
[1] Abu Abdillah Muhammad Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz II, (Dar at-Ta’sil, 2014). 277, no. 1833.
[2] Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, merupakan realitas baik yang berbentuk jasmani atau konkret maupun rohani atau abstrak. Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.Muhammad Adib. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 69.
[3] Al-Baihaqi, Al-Jami’ Lisyu’ab Al-Iman,. 341, no. 5101
[4] Muslim, Shahih Muslim( Syarh Imam Nawawi), (Dar al-Fikr, t.t.), Jilid 8, Juz 16, h. 140
[5] Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, (Dar al-Fkr, t.t), Juz 5, h. 343
[6] Aksiologi dipahami sebagai nilai kegunaan. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakaarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), Cet.12, h.227. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai ditinjau dari sudut kefilsafatan. Hakikatnya nilai merupakan sesuatu yang berharga, berguna atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. .Objek telaah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, tujuan pengetahuan serta perkembangannya. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan?Louis Kattsoff, Pengantar Filsafat, Cet. V (Yogyakarta: Tiara Mutiara, 1992) h. 327.
Tag:artikel