Etika dalam Berutang

ETIKA DALAM BERUTANG

oleh

Amelia Rahmaniah

(Dosen Tetap Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin)

Salah satu kegiatan muamalah yang banyak dilakukan di masyarakat adalah utang-piutang. Memberikan piutang merupakan salah satu bentuk keperdulian sosial yang sangat bermanfaat dan dianjurkan dalam agama Islam. Dalam salah satu sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:

“Barang siapa melepaskan satu kesusahan di antara sekian banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang diderita kesulitan, niscaya Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya”.

Dalam hadis lain yang dieriwayatkan oleh Ibnu Majah disebutkan:

“Tatkala malam isra’ mi’raj, aku melihat di pintu surga tertulis,’Sedekah dilipatgandakan sepuluh kali, dan qardh (pinjaman) dilipatgandakan delapan belas kali.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘Wahai Jibril, kenapa qardh lebih utama daripada sedekah?’ Jibril menjawab, ‘Karena (dalam sedekah) pengemis meminta sedang dia punya, sedangkan orang yang meminjam tidaklah ia meminjam kecuali karena ada kebutuhan.’”

Hukum asal dari berutang adalah boleh sebagaimana yang terdapat dalam Firman Allah swt. dalam Surah al Baqarah ayat 282. Hukum ini dapat berubah sesuai dengan niat atau tujuan atau kondisi seseorang. Berutang menjadi haram hukumnya bagi seseorang yang dengan sengaja berniat menangguh-nangguhkan pembayaran. Hukum berutang menjadi makruh bagi seseorang yang merasa tidak mampu membayar sesuai kesepakatan sedang ia tidak dalam keadaan terdesak. Hukum berutang ini berubah menjadi sunat ketika dalam keadaan kesempitan hidup, dan berubah menjadi wajib apabila sudah berada dalam keadaan terdesak.

Menurut Wahbah az Zuhaili ada 2 syarat akad utang-piutang diperbolehkan, yaitu:

1. Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan itu untuk pemberi pinjaman maka para ulama sepakat bahwa itu tidak diperbolehkan, jika untuk penerima pinjaman maka diperbolehkan, dan jika untuk mereka berdua (pemberi dan penerima pinjaman) maka tidak diperbolehkan.
2. Tidak dibarengi dengan transaksi lain, misalnya jual beli.

Begitu besar apresiasi Islam terhadap orang yang memberikan utangan kepada orang yang memerlukan. Hanya saja kadang kala kebaikan memberi piutang ini disalahgunakan oleh segelintir orang sebagai sarana untuk mendapatkan utangan tanpa berpikir untuk membayarnya. Ada anekdot yang tersebar “Berutang seperti mendapat, bayar seperti terkena rampok.” Anekdot ini sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam yang menghukumkan wajib untuk membayar utang.

Kondisi zaman sekarang sangat berbeda jauh dengan zaman Rasulullah saw. Dahulu orang berutang karena untuk memenuhi keperluan pokok, berutang bukan gaya hidup dan bukan kebanggaan. Zaman sekarang banyak orang berutang hanya untuk keperluan sekunder, atau bahkan kadang-kadang untuk sesuatu yang tidak perlu sama sekali. Sebagian orang sekarang justru bangga kalau mempunyai banyak pinjaman, karena ini menunjukkan bahwa ia dipercaya oleh orang lain atau lembaga keuangan yang memberinya pinjaman, seandainya mereka tidak dipercaya tentu mereka tidak akan diberi pinjaman. Seperti inilah gambaran zaman sekarang yang tentunya tidak sesuai dengan etika berhutang dalam Islam.

Islam mengatur tentang hubungan antara sesama manusia termasuk dalam hal utang-piutang yang banyak sekali terjadi di masyarakat dari dulu hingga sekarang, di antara etika  dalam berutang adalah:

1. Menghindari untuk berutang bila tidak perlu
2. Berniat untuk melunasi utang
3. Berutang untuk sesuatu yang dibenarkan syariat
4. Mencatat utang-piutang
5. Menghadirkan dua orang saksi
6. Tidak menunda-nunda pembayaran
7. Tidak berbunga
8. Melunasi utang sebelum naik haji
9. Melunasi utang sebelum harta warisan dibagi
10. Menyedekahkan utang apabila yang berpiutang meninggal dunia dan tidak diketahui ahli warisnya.

Adapun azab bagi orang yang enggan membayar utang adalah:

1. Tidak bisa masuk surga

Rasulullah saw. bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan terbebas dari tiga hal, yakni sombong, ghulul (khianat), dan utang, maka dia akan masuk surga.”

Dalam hadis yang riwayat Muslim disebutkan:

“Seseorang yang mati syahid akan diampuni segala dosa-dosanya, kecuali utang.”

2. Nasibnya tergantung di akhirat

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad:

“Jiwa (ruh) orang mukmin itu tergantung oleh utangnya sampai utangnya itu dilunasi.”

3. Pahalanya diambil untuk membayar utangnya

Seperti sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

“Barangsiapa meninggal sementara ia mempunyai tanggungan utang satu dinar atau satu dirham, maka akan diganti dari pahala kebaikannya pada hari yang dinar dan dirham tidak berguna lagi.”

Sumber Bacaan:

• Anisa Rizki Febriani, 3 Azab yang Diganjar Bagi Orang yang Enggan Melunasi Utangnya, 29 Oktober 2023, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7008412/3-azab-yang-diganjar-bagi-orang-yang-enggan-melunasi-utangnya
• Muchammad Ichsan, “Hukum dan Etika Berutang,” Jurnal Tarjih, Volume 11 (1), 1434 H/2013 M
• Wahbah az Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al Kattani, dkk., Jilid 5, Jakarta: Gema Insani, 2011