Memahami Lailatul-Qadar

Edisi Jum’at, 14 April 2023

MEMAHAMI LAILATUL-QADAR

Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag.

Lailatul-qadar adalah satu malam yang kedatangannya sangat dinantikan  oleh umat Islam pada setiap bulan Ramadhan. Al-Qur’an juga menyebutnya dengan malam penuh berkah, penuh hikmah (QS. 44:3). Disebut juga malam  yang lebih baik dari seribu bulan, ketika Jibril dan para malaikat lainnya turun ke bumi, malam yang penuh kedamaian (QS. 97:3). Apa dan bagaimana malam itu ? Kapan kedatangannya ? Apakah setiap orang yang berharap pasti mendapatkannya, dan bagaimana tanda-tanda yang menyertai kehadirannya ?  Yang pasti hal tersebut harus diimani oleh setiap Muslim, karena adanya berdasarkan pernyataan al-Quran.

Yang menarik pemberitaannya menggunakan kata “ma adraka”, yang biasanya digunakan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan suatu objek pertanyaan tentang hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia, bersifat gaib. Menurut Prof. Quraish Shihab, kata Qadar itu paling tidak memiliki tiga arti yakni, (1) penetapan dan pengaturan, (2) kemuliaan dan (3) sempit. Ketiga arti tersebut menurutnya  menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam yang mulia karena diturunkannya al-Qur’an, yang bila dapat diraih maka akan menetapkan perjalanan masa depan hidup manusia, juga bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian, sehingga seakan bumi  terasa sempit dengan kehadirannya.

Pengalaman mendapatkan Lailatul-qadar merupakan pengalaman spiritual dan individual, sehingga tidak semua orang mampu berjumpa malam seribu bulan ini. Dengan kata lain, Lailatul-qadar tidak bisa didapatkan begitu saja hanya dengan  tidak tidur  pada malam-malam di sepuluh terakhir bulan Ramadhan, karena perjumpaan dengannya merupakan puncak prestasi kerohanian (spiritual achievement) setelah seseorang melakukan banyak kegiatan ibadah, mengasah dan mengasuh jiwanya.

Seperti tamu agung yang berkunjung ke suatu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang mendambakannya, demikian pula dengan Lailatul-qadar. Itulah sebabnya bulan Ramadhan yang menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang telah berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya, telah mencapai suatu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya mengapa Rasul SAW menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf  pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Apabila jiwa telah bersih, kesadaran tentunya mulai bersemi, maka Lailatul-qadar datang mampir menemuinya, ketika itulah menjadi saat dan momentum qadar dalam makna, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidup di masa mendatang. Saat itu menjadi terbukanya kesadaran seseorang, menjadi titik tolak guna meraih kemuliaan hidup di dunia dan akherat, hidupnya selalu terbimbing menuju kebaikan.

Adakah tanda-tanda  yang menyertai kehadirannya ? Yang paling jelas adalah kehadiran malaikat yang disertai suasana kedamaian. Dalam konteks puasa Ramadhan, kedamaian itu hanya didapat ketika seseorang mampu menggapai jenjang peringkat keruhanian yang tinggi.  Peringkat itu diperoleh setelah melewati jenjang puasa jasmani (fisik), jenjang puasa nafsani (kejiwaan). Karena bersifat ruhani, kondisi Lailatul-qadar banyak diungkapkan melalui simbol-simbol, metafora-metafora yang sebenarnya merupakan sebuah perlambang dari suatu capaian ruhani yang sulit diterangkan.

Sebuah riwayat yang menarik dari Abu Sa’id al-Khudri ra dalam Shahih Muslim, bahwa suatu saat ketika sedang i’tikaf di malam ganjil, Rasulullah saw memanggil orang-orang menanti Lailatul-qadar dan mengatakan : “apa yang kalian tunggu-tunggu insya Allah malam ini datang, dan aku melihat dalam mimpi,  datangnya hujan yang lebat dan aku sujud di tanah yang basah”. Pada malam itu memang terjadi hujan lebat dan Nabi badan basah kuyup dengan wajah belepotan lumpur, karena bangunan masjid saat itu sangat sederhana hanya beratapkan daun kurma.

Apa yang dimaksud dengan Lailatul-qadar oleh Nabi dengan peristiwa itu ? Sekali lagi, karena ini persoalan ruhani, terbatas kata-kata untuk bisa menjelaskannya. Boleh jadi itu adalah simbol dan perlambang, bahwa belepotan dengan lumpur dan basah karena air,  adalah pertanda bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani itu ialah kesadaran tentang kembali ke asal kita, yaitu dari tanah dan air, merupakan simbolisme bahwa kita harus kembali menyadari siapa diri kita sebenarnya. Dengan tahu diri, menyadari siapa diri kita sesungguhnya, hingga seseorang menjadi rendah hati, dengan sikap rendah hati akan banyak kebahagiaan diperoleh. Lawan dari tahu diri adalah lupa diri, yaitu orang-orang yang tidak menyadari asal-usul hidupnya dan kemana tujuan hidupnya, orang lupa diri biasanya tersesat, dan tidak dapat kembali.

Salah satu firman Allah yang selalu diingat : “Ketahuilah bahwa dengan ingat kepada Allah, maka hati akan mengalami kebahagian atau ketenangan (QS. 13:28). Jadi kebahagian dapat diperoleh dengan ingat, kembali, “pulang” kepada Allah. Dalam salah satu ucapan suci, kita diingatkan, “inna lillah wa inna ilayhi raji’un”, kita semua berasal dari Allah dan akan pulang kepada-Nya. Keberhasilan untuk pulang adalah persyaratan untuk menuju kebahagiaan. Karena itulah kita rindu kepada Allah dan ingin kembali pulang kepada-Nya, dan pulang itu dimulai dengan simbol pulang ke tanah.

Bulan Ramadhan adalah bulan agung karena dinisbatkan kepada Tuhan. Tuhan adalah “kampung halaman”, tempat kembali kita. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, sang sufi-penyair, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah “seruling bamboo” yang tercabut dari rumpunnya. Siulan dan lengkingan seruling laksana jeritan pilu jiwa karena kerinduan untuk kembali kepada-Nya, itulah penderitaan kita berkepanjangan karena mengejar hanya keinginan kita (hawa-nafsu), yang membuat kita lupa, tidak dapat kembali ke asal. Wallahu a’lam bis-shawwab.

Daftar Pustaka

Karam Amin Abu Karam, Hakikat Ibadah Menurut Ibnu ‘Arabi, Alifia Books, Ciputat, 2020.

Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Bil Ma’tsur : Pesan Moral  Al-Qur’an, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.

Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Himpunan Fadhilah Amal, Penerbit Ash-Sahff, Yogyakarta, 2002.

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996.

Nurcholish Madjid, Tiga Puluh Sajian Ruhani : Renungan Di Bulan Ramadhan, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.