
Menggali Titik Temu Agama Melalui Sufisme: Buku Karya Ketua FKUB Kalsel Dibedah Lintas Iman di UIN Antasari
Suasana intelektual dan semangat dialog kebangsaan begitu kental terasa saat Aula Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin dipenuhi para tokoh lintas agama, akademisi, dan perwakilan organisasi masyarakat. Pada Rabu, 3 September 2025, Fakultas Syariah menggelar acara bedah buku monumental berjudul “Sufisme dan Pluralisme: Membangun Harmoni Antar Agama Melalui Pemikiran Nurcholish Madjid”, yang ditulis oleh Drs. H.M. Ilham Maskuri Hamdie, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Selatan.
Acara yang dipandu oleh Dr. Wahyuddin, M.SI ini berhasil menarik antusiasme tinggi dari berbagai kalangan. Tampak hadir perwakilan dari Keuskupan Banjarmasin, Walubi, Vihara Dhammasoka, serta berbagai komunitas dialog lintas iman yang ada di Kalimantan Selatan. Tidak kurang dari 72 orang peserta mengikuti kegiatan ini.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Syariah, Dr. Hj. Amelia Rahmaniah, MH, menyambut hangat kehadiran para undangan, khususnya para agamawan yang tergabung dalam FKUB. Beliau mengapresiasi keberanian dan kecerdasan penulis dalam mengangkat gagasan sosok kontroversial seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur).
“Pak Ilham mampu menulis dengan sangat apik pemikiran sosok yang seringkali dianggap kontroversial lewat gagasan pluralismenya. Topik ini tentunya sangat menarik dan relevan untuk kita diskusikan bersama dalam konteks kebangsaan hari ini,” ujar Dr. Hj. Amelia. Beliau juga mengucapkan terima kasih atas kerja sama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari, FKUB, dan seluruh panitia yang telah memfasilitasi forum dialog penting ini.
Menyelami Esensi Agama
Dr. Wahyuddin selaku pemandu acara membuka diskusi dengan mengutip Charles Gamble dari Universitas Oklahoma, “Betapapun luhur ajaran agama, semua itu hanyalah pembusukan apabila agama itu menyebabkan kenistaan.” Kutipan ini menjadi pengantar untuk memahami tawaran utama Cak Nur, yaitu kembali ke jantung atau hati agama melalui pendekatan esoteris (sufisme), agar tidak terjebak pada pemahaman eksoteris (formalitas syariat dan teologi) semata.
“Cak Nur menawarkan agama cinta. Makin jauh kita dari sumbu atau pusat agama, makin banyak perbedaan yang terlihat. Namun, jika kita mendekat ke sumbunya, kita akan menemukan banyak persamaan. Pada dasarnya, semua agama akan mengarah kepada monoteisme,” jelas Wahyuddin merangkum gagasan Cak Nur.
Penulis buku, Bapak Ilham Masykuri, yang disebut pemandu acara sebagai “anak ideologis” Harun Nasution dan Cak Nur, menjelaskan bahwa buku ini lahir dari kegelisahannya melihat gesekan antarumat beragama. “Aktivitas keagamaan perlu dibangun atas intelektualitas yang kuat. Keyakinan atas kebenaran agama yang kita anut, jangan sampai menafikan eksistensi orang lain yang beragama berbeda,” tegasnya.
Menurutnya, Cak Nur memahami pluralisme bukan sekadar pengakuan atas kemajemukan (pluralitas), melainkan sebuah paham persatuan sejati dalam kebhinnekaan yang berkeadaban. “Landasan teologisnya sangat pas pada Surah Al-Maidah ayat 48, bahwa Tuhan sengaja menciptakan syariat yang berbeda-beda untuk menguji manusia,” tambah Dr. Ilham.
Bedah Kritis dari Dua Perspektif
Pembedah pertama, Dr. Zainal Abidin, selaku Ketua LP2M UIN Antasari, menyebut Dr. Ilham sebagai “CakNurian garis keras” yang kini sudah langka. Ia memuji buku tersebut karena memiliki pijakan teoretis yang kuat dan paparan menarik tentang akar sufisme dalam pemikiran Cak Nur. Dr. Zainal juga menyoroti tiga sikap beragama yang dibahas dalam buku: eksklusif (agamaku paling benar), inklusif (agama lain adalah bentuk implisit agamaku), dan pluralisme (semua agama sama-sama menuju kebenaran).
Mengutip narasi teolog Hans Kung, Dr. Zainal menegaskan, “Tidak akan ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama. Dan tidak akan ada perdamaian antar agama tanpa dialog antar agama.”
Pembedah kedua, Dr. Darius Dubut, seorang akademisi Kristen dan penulis buku “Menjadi Manusia Menjadi Hamba Allah: Titik Jumpa Kristen-Muslim”, memberikan perspektif yang kaya. Ia menyoroti akar pemikiran Wahdatul Adyan (kesatuan agama-agama) yang menjadi pijakan Cak Nur.
“Meski berbeda dalam bentuk formal, semua agama bisa bersatu pada tataran esoteris. Kebenaran partikular setiap agama diikat oleh kebenaran esensial yang menjadi jantungnya,” papar Dr. Darius. Ia juga mengapresiasi bagaimana Cak Nur mengelaborasi tasawuf klasik menjadi neo-sufisme yang relevan dengan realitas modern. Menurutnya, Cak Nur membedakan antara “Islam generik” yang menjadi intisari setiap agama, dengan “Islam yang terinstitusikan”.
Sesi diskusi berlangsung dinamis, di mana pemikiran dan ide-ide se ]gar dari para peserta mengalir memberikan tanggapan. Acara ini tidak hanya sukses membedah sebuah buku, tetapi juga berhasil menjadi wadah dialog lintas iman yang konstruktif dan mencerahkan.
(Reported by MF)
Tag:Bedah Buku