
Perkuat Nalar Ijtihad, Mahasiswa PKPM Fakultas Syariah Menimba Ilmu Langsung dari Ulama Mekkah
- Posted by Adi Ilhami
- Categories BERITA, Berita PM
- Date 23/11/2025
Ahad pagi 23 November 2025 mahasiswa Program Khusus Perbandingan Mazhab (PKPM) Fakultas Syariah UIN Antasari mendapatkan kesempatan untuk menyerap ilmu langsung dari ulama internasional, Dr. Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Ruqaimi al-Makki al-Ahdal, dalam agenda “Daurah Internasional Fiqh Kontemporer”.
Kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi antara Pusat Studi Kajian Banjar dan Melayu, Program Khusus Ulama (PKU) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, serta Program Khusus Perbandingan Mazhab (PKPM) Fakultas Syariah. Bertempat di Masjid Kampus Abdurrahman Ismail Kampus I UIN Antasari Banjarmasin.
Hadir menyambut narasumber, Ketua Pusat Studi Kajian Banjar dan Melayu, Dr. Ahmad Muhajir, S.HI., M.A., perwakilan pengelola PKU, Ust. Najib Irsyadi, M.Hum., serta Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab, Miftah Faridh, S.HI., M.HI., yang mendampingi para mahasiswa Fakultas Syariah.
Dr. Sayyid Muhammad adalah putra dari Syaikh Ahmad bin Abdullah al-Ruqaimi, seorang Mufti Syafi’iyyah yang mengajar di Masjidil Haram. Beliau juga merupakan doktor bidang Ushul Fikih jebolan Universitas Al-Azhar Kairo yang kini aktif mengajar di Markaz Sayyid Alwi Abbas al-Maliki di Mekah dan beberapa Institusi Islam di Mesir dan Indonesia, khususnya yang dikelola oleh alumni Markaz Sayyid Alwi..
Dalam paparannya, Dr. Sayyid Muhammad al-Ruqaimi membuka wawasan mahasiswa mengenai hakikat fikih kontemporer. Menurutnya, istilah ini merujuk pada persoalan hukum Islam yang muncul di era modern, terutama pasca tahun 1930-an.
“Pasca tahun itulah perubahan global dan problematika fikih terlihat sangat masif. Mulai dari munculnya isu donor anggota tubuh, bayi tabung, perbankan modern, pernikahan dan pembelajaran jarak jauh, jual beli online, hingga persoalan vaksin yang melanda secara merata di dunia Islam,” jelas Dr. Sayyid.
Poin paling krusial yang menjadi catatan penting bagi mahasiswa adalah metodologi dalam menggali (istinbath) hukum fikih kontemporer. Dr. Sayyid Muhammad menguraikan empat tahapan vital yang harus dipahami dengan baik.
Pertama, Tashwirul Masa’ail (Deskripsi Masalah). Ini adalah tahap paling awal dan mendasar, yaitu upaya memahami dan mendeskripsikan permasalahan baru secara utuh, mendalam, dan objektif. Seorang ahli fikih harus mengumpulkan data faktual, definisi operasional, serta mekanisme kerja dari kasus yang diteliti. Prinsipnya: “Hukum atas sesuatu adalah cabang dari gambaran tentang sesuatu tersebut.” Jika gambaran masalahnya salah, maka fatwa yang dihasilkan pasti keliru.
Kedua, Takyif al-Fiqhi (Karakterisasi Fikih). Setelah masalah dipahami, tahap selanjutnya adalah menentukan kedudukan masalah tersebut dalam kerangka fikih. Ini adalah proses menghubungkan kasus baru dengan nazhir (kasus serupa) atau bab fikih yang sudah ada dalam khazanah klasik.
Ketiga, Tathbiq al-Hukm (Penerapan Hukum). Ini adalah proses inti penetapan status hukum (wajib, sunah, haram, makruh, atau mubah) berdasarkan dalil-dalil syara’ (Al-Qur’an, Hadis, Ijma, Qiyas, dan lain-lain) yang sesuai dengan takyif di atas. Pada tahap ini, mujtahid menguji korelasi antara dalil dengan fakta yang sudah didudukkan perkaranya.
Dan keempat, Ma’alat al-Fiqhi (Tinjauan Dampak Hukum). Tahap akhir ini meninjau konsekuensi atau dampak dari penerapan hukum tersebut di masa depan. Seorang mufti harus memprediksi apakah fatwa yang dikeluarkan akan mendatangkan kemaslahatan atau justru menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar bagi masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip Sadd al-Dzari’ah (menutup jalan keburukan). Hukum bisa berubah atau disesuaikan jika penerapannya justru menjauhkan dari tujuan syariat (maqashid syariah).
Materi ini sangat relevan bagi mahasiswa PKPM Fakultas Syariah yang memang dipersiapkan menjadi calon ahli hukum Islam. Dalam kesempatan itu, Dr. Sayyid Muhammad al-Ruqaimi juga menekankan pentingnya penguasaan bahasa Arab, qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah, ilmu maqashid syariah, serta urgensi mempelajari ilmu perbandingan mazhab untuk melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i).
Suasana daurah semakin hidup saat sesi tanya jawab dibuka. Antusiasme tidak hanya datang dari mahasiswa UIN Antasari, tetapi juga dari peserta umum dan mahasiswa luar kampus yang turut hadir, menciptakan suasana keilmuan yang hangat dan mencerahkan.(*/MF)








