Radikalisme Agama dalam Politik: Sebuah Pengantar Awal

Hari, Tanggal: Jum’at, 17 Maret 2023

Penulis:

Sulaiman Kurdi, S.Ag., M.S.I.

(Dosen Fakultas Syariah)

Ketika penulis mengikuti acara “Sosialisasi Perda Kal-Sel No 12 Tahun 2022 tentang “Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat” pada tanggal, 02 Maret 2023 di Vihara Dhammasoka Banjarmasin.

Dari Perda tersebut, ada keinginan yang kuat dari Pemerintah Provinsi Kal Sel untuk membuat aturan agar segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah terlindungi dari “kekerasan” (motifnya bermacam-macam), termasuk didalamnya warga Kal-Sel. Sebab, kalau tidak diantisipasi sejak dini (secara hukum) dikhawatirkan timbul konflik di masyarakat bisa terjadi. Apalagi konflik itu berlandaskan pada agama ataupun politik.

Tulisan sederhana ini tidak “masuk” dalam ranah Perda tersebut tapi lebih melihat pada “Radikalisme Agama Dalam Politik: Sebuah Pengantar Awal”.

Radikalisme secara poluler menunjuk kepada ekstremisme politik dalam aneka ragam bentuknya. Usaha untuk mengubah orde sosial- politik secara drastis dan ekstrem.

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang menanamkan dirinya orang-orang yang memegang teguh ajaran agama, para pakar kemudian menganalisis hubungan antara agama (ideologi) dipenuhi teror atau kekerasan.

Sebagian membenarkannya, namun lebih banyak yang mengecamnya. Sebagai contoh, Albert Camus, seorang filosof asal Prancis dan Sir Karl Popper dari Inggris, mengungkapkan bahwa kendati pada dasarnya tujuan akhir dari hampir semua agama atau ideologi adalah meringankan kesengsaraan manusia, namun penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mulis tersebut sama sekali tidak dibenarkan (Alwi Shihab, 1999).

Sebaliknya, filosof kenamaan Jean Paul Sartre asal Prancis  tidak saja membenarkan “dirty hands” (tangan-tangan kotor) untuk mencapai tujuan politik, bahkan menganggap bahwa terkadang tindakan kekerasan dapat dianggap suatu kebaikan. Justru, karena ada asumsi bahwa penggunaan kekerasan merupakan salah satu metode pencapaian tujuan luhur. Maka tidak aneh kalau naluri agresif manusia terkadang tumbuh subur di bawah naungan agama.

Fenomena kekerasan dalam perjalanan sejarah terlihat dalam kehidupan keagamaan. Baik dalam konteks Islam, Kristen Katolik atau Protestan, Sikh dan lainnya. Juga, fenomena-fenomena yang terjadi pada diri pemuka agama yang memberikan interpretasi keliru (berpikir secara literal) terhadap teks-teks keagamaan yang menjurus kepada radikalisme.

Aksi-aksi kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan agama adalah sesuatu kekeliruan dalam melihat teks-teks kitab suci, hal ini dibutuhkan pemahaman yang baik dan benar. Pada prinsipnya agama (Islam) dan agama-agama lainnya mencintai kedamaian dan menolak kekerasan.

Gejala kekerasan (baik radikalisme, terorisme ataupun ekstremisme) merupakan fenomena global yang harus dicermati dan disikapi, mungkin saja fenomens ini mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi ekspresi  politik (umat Islam atau lainnya) ketika berhadapan dengan realitas sosial politik yang berkembang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh James P. Piscatori bahwa beragamnya ekspresi tersebut pada dasarnya bermuara psda beberapa faktor seperti doktrin ajaran, sikap politik ataupun gerakan politik yang dilancarkan.

Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membina semangat persatuan seluruh bangsa. Kehidupan politik kita memberi tempat bagi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan orang-orang berpikiran sempit dan tidak bertanggung jawab yang mengatas namakan agama (atau ideologi lainnya) untuk kepentingan-kepentingan kelompok atau golongannnya.

Akhirnya, segala bentuk modernisasi keagamaan baik dalam menilai, berinteraksi dengan kelompok lain maupun dalam menjalankan tuntutan agama perlu mendapat pencerahan. Untuk itu usaha-usaha mencari “kesepakatan” dalam dalam sebuah ajaran (agama-agama dunia atau ideologi lainnya) guna mencegah terjadinya aksi kekerasan atau radikalisme perlu “harus” diingatkan. Untuk itu diperlukan rekonsiliadi intern atau ektren termasuk dengan pemerintah dari setiap kelompok atau golongan menjadi prioritas utama dalam agenda tiap agama, masyarakat dan pemerintah.

Sumber bacaan :

1. Azra, Azyumardi (1996). Pergolakan Politik Islam. Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina.
2. Roy, Oliver (1994). The Failure of Political Islam. Translanted by Carol Volk. London: IB, Taurus.
3. Shihab, Alwi (1999). Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan.