The Road to Allah: Siapkah Mudik Menghadap Allah?

Edisi Jum’at, 28 April 2023

THE ROAD TO ALLAH: SIAPKAH MUDIK MENGHADAP ALLAH?

Drs. M. Ilham Masykuri Hamdie, M.Ag.

Menjelang akan berakhirnya pelaksanaan puasa Ramadhan, dan  datangnya perayaan hari raya Idul Fitri, biasanya aktivitas dan mobilitas masyarakat semakin meningkat, yang paling mudah diamati antara lain adalah arus mudik, arus pulang kampung. Fenomena sosial tentang arus mudik ini tidaklah dapat dianggap sebagai gejala “set-back”, gejala kemunduran atau keterbelakangan. Di negara-negara modern  seperti Amerika Serikat-pun gejala mudik ini juga terjadi, tepatnya pada saat mereka merayakan  Thanks-giving Day, saat penduduk negeri itu bersuka-ria dengan bersyukur kepada Tuhan bersama seluruh keluarga. Sama halnya seperti di negara kita, di bandara-bandara, pelabuhan-pelabuhan, stasiun-stasiun  dan terminal-terminal  terjadi luapan penumpang, dan tidak jarang pula ditandai dengan fenomena traffic-jams atau kemacetan lalu lintas. Semua itu terjadi karena dorongan yang kuat untuk bertemu keluarga, ayah-ibu, dan sanak-saudara di kampung halaman.

Fenomena mudik saat lebaran, bukan hanya gejala antropologis semata, tapi sebuah simbolisme fitrah, yang berkaitan dengan dorongan alamiah atau fitrah manusia, yakni gerak untuk selalu ingin kembali kepada hal-hal yang berdimensi  “asal”, seperti kembali kepada orang-orang yang dekat, kepada ibu-bapak, kepada sanak-saudara, kepada kampung halaman. Dorongan ini bersifat natural, bersifat alami, bersifat fitrawi yang terkait dengan ajakan untuk kembali ke asal-muasal, kembali kepada kesucian, kembali bertekad untuk melaksanakan ajaran agama secara benar, baik dan indah.

Dari segi agama, mudik adalah juga bagian dari pelaksanaan ajaran agama untuk beridul fitri, sebagai kelanjutan untuk menyempurnakan pelaksanaan puasa Ramadhan. Mudik adalah sarana atau medium untuk bermaaf-maafan setelah proses pertaubatan dan menerima ampunan dari Allah swt. Mudik adalah sarana untuk meminta maaf, sarana untuk menjalin silaturrahmi, sarana untuk mempererat persaudaraan, sarana untuk berbagi kepada sesama. Bagi para perantau yang jauh dari kampung halaman, merayakan Idul Fitri tanpa mudik, seperti dianggap “non-sense”, nyaris tanpa makna. Sebab kepulangan pemudik ke daerah asal, ternyata juga membawa dampak rembesan ekonomi. Mudik tanpa disadari ternyata merupakan “blessing under disguise”, bagi kampung halaman, membawa rahmat tersendiri.

Rasulullah SAW bila melaksanakan shalat Idul Fitri, sebagaimana diriwayatkan sering membaca surah al-A’la dan surah al-Ghasyiyah. Pada surah al-A’la, Tuhan memuji orang-orang yang berzakat, berdzikir dan melakukan shalat, “Qad aflaha man tazakka, wa dzakarasma rabbihi fashalla”. Sedangkan pada surah al-Ghasyiyah diceritakan tentang “orang-orang yang mudik kepada Allah swt”.  Surah ini ditutup dengan “Inna ilaina iyabahum, tsumma inna ‘alaina hisabahum”, kepada Kamilah mereka kembali, dan Kamilah yang akan memeriksa amal-amal mereka.

Tahun ini mungkin sebagian kita tidak sempat mudik ke kampung halaman, boleh jadi karena berbagai alasan, mungkin karena alasan sibuk, waktu terlalu mepet, mungkin juga karena alasan ekonomi, tidak siap dengan bekal yang akan dibawa. Hari ini karena alasan-alasan tersebut, karena alasan tidak punya bekal, kita boleh memutuskan untuk sementara tidak mudik. Tapi nanti ada suatu saat, punya bekal atau tidak punya bekal kita, para perantau di dunia ini harus mudik. Kita harus mudik kepada Allah swt, mudik ke kampung halaman abadi, ke kampung akherat, menemui Tuhan Sang Khalik yang kita cintai. Inilah saat kematian, hasrat untuk kembali yang paling hakiki.

Mungkin lima menit yang lalu ketika anda mengambil, membuka dan membaca tulisan ini, momen itu, waktu itu jauh lebih panjang jaraknya ketimbang saat kematian, saat mudik menuju Tuhan yang senantiasa secara pasti selalu mendekat. Karena waktu yang telah lewat berlalu dan tidak bisa dipanggil kembali, sementara kematian sudah pasti setiap saat kian mendekat dan tidak bisa dihentikan atau disuruh berbalik arah. Karena sudah pasti datangnya, maka sikap terbaik adalah bersiap-siap menanti dan menyambutnya, sebagaimana kita sudah mempunyai pengalaman bersiap-siap dan bahkan menunggu datang peristiwa penting seperti datangnya hari wisuda, hari pernikahan, hari kelahiran sang anak, hari pensiun, atau peristiwa-peristiwa lainnya yang kita yakini datangnya, padahal tingkat kepastiannya tidak sebanding dengan kepastian datangnya peristiwa kematian, saat mudik  kita menemui Sang Khalik.

Perjalanan manusia mudik menuju Allah SWT penuh dengan resiko, ia adalah perjalanan yang sekali jadi, tidak mengenal pengulangan. Maka, kita ingin hidup sekali yang berarti- seperti kata Chairil Anwar : sekali berarti, sudah itu mati. Ia adalah perjalanan panjang dan mendaki. Karena panjangnya perjalanan, maka setiap orang harus mempersiapkan bekal sekaligus mengurangi beban. Beban yang terberat adalah dosa-dosa yang  telah dilakukan. Karena itu yang pertama dituntut dari setiap pemudik adalah bertaubat, agar bebannya berkurang dan menjadi ringan. Baru setelah itu menghimpun bekal  dengan jalan menghiasi diri dengan aneka kebajikan. Orang yang lalai menyediakan bekal untuk mudik menemui Tuhan, adalah bagaikan seseorang yang  sedang tidur nyenyak. Dia tidak sadar bahwa umurnya telah habis terbuang. Tetapi jika dia terbangun dari tidurnya dan sadar ketika cahaya Ilahi mengetuk pintu hatinya, maka dia akan mengambil kapak untuk memotong rantai yang membelenggu dirinya selama ini. Seketika itu teranglah kembali alam dihadapannya dan tampak olehnya bahwa putaran hidup di dunia ini berlangsung begitu cepat, karena itu sisa umurnya tidak disia-siakannya, ia bangkit mengejar ketinggalan, dan segala pengalaman dijadikannya pupuk untuk menyuburkan “pohon iman” yang telah tumbuh di hatinya. Demikian kurang-lebih tulisan Ibn Qayyim al-Jauzi dalam bukunya “Zad al-Ma’ad” (Bekal Menuju Akherat).

Sudah siapkah kita untuk mudik yang abadi ini ? Sudahkah kita mempersiapkan perbekalan ? Ataukah yang ada hanya tumpukan dosa-dosa yang membebani punggung kita ? Siapkah kita untuk diperiksa dalam timbangan keadilan Tuhan, “Inna ilaina iyabahum, tsumma inna ‘alaina hisabahum”, kepada Kamilah mereka kembali, dan Kamilah yang akan memeriksa amal-amal mereka. Menurut Ali Zainal Abidin, cicit Rasulullah SAW, perjalanan abadi, mudik menuju Allah SWT  itu melalui beberapa stasiun. Pertama dimulai dengan stasiun kematian, saat harus menyaksikan malaikat maut datang menjemput kita, dengan sikap ramah atau sikap yang menyeramkan. Stasiun kedua saat bangkit di alam kubur, saat menghadapi pertanyaan- pertanyaan dari  malaikat  yang siap menghantam dada dan mengiris hati nurani kita. Dan ketiga stasiun  saat kita dibangkitkan berdiri di hadapan Allah SWT di hari pengadilan kelak.

Setiap saat kita berjalan menuju pintu kematian, masing-masing kita sudah memiliki nomor urutnya. Namun jalan dan penyebabnya masih diberi ruang pilihan oleh Tuhan, apakah jalan yang mulus dengan didampingi amal-amal kebajikan, ataukah jalan  terjal yang berliku dan menyiksa dengan himpitan rekaman kejahatan.  Kita tidak tahu bagaimana mudik kita nanti, apakah berada dalam “kendaraan Rahman dan Rahim” Allah SWT, dalam pelukan kasih-sayang Tuhan. Atau dalam deraan malaikat maut dan kemarahan Tuhan. Kita tidak tahu apakah ketika bangkit dari kubur dengan wajah ketakutan atau dengan wajah penuh kegembiraan. Kita juga tidak tahu  apakah akhirnya kita akan ditempatkan di surga atau di neraka.

Kita sudah bekerja keras sepanjang tahun, mengumpulkan bekal-bekal untuk mudik beberapa hari ke kampung halaman, namun sudahkah kita mempersiapkan bekal-bekal untuk pulang, mudik yang abadi menuju Tuhan? Kita sudah berikhtiar, berkarya menghabiskan masa muda untuk mempersiapkan masa tua kita yang berlangsung hanya beberapa saat saja, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan yang sangat panjang setelah kematian kita?

Rasulullah pernah bersabda bahwa hidup di dunia ini bagaikan masa tanam, dan hasil panennya nanti dinikmati setelah meninggal. Oleh karena itu kita bisa berempati dengan logika dan perasaan para petani yang begitu bergairah menanam dan mengurusi tanamannya dengan semangat kasih-sayang dan antusiasme, baik karena cinta pada pekerjaannya, maupun karena membayangkan datangnya hari panen. Jika harapan dan ramalan petani tentang hasil panennya adakalanya meleset dan mengecewakan, mungkin  akibat hama wereng atau rusak akibat banjir, maka hukum sebab-akibat dari perilaku manusia bersifat mutlak. Siapa menanam kebajikan di dunia akan panen kebajikan di akherat, dan siapa menanam keburukan maka akan panen kesengsaraan. Al-Qur’an memberikan ilustrasi, orang-orang yang durhaka dan mengingkari nikmat Tuhan, ketika maut telah datang baru muncul penyesalannya dan memohon pada Tuhan agar dikembalikan lagi ke dunia untuk berbuat kebajikan, karena selama hidupnya lebih banyak berbuat kejahatan (QS.al-Mukminun : 99-100).

Perjalanan hidup ini seperti disket, apakah ia diisi dengan koleksi pikiran, hati dan perilaku yang serba baik dan indah ? Kalau tidak, kita akan malu dan repot sendiri ketika nanti di akherat koleksi itu di-print-out  ataupun dibuka isinya lalu ditimbang oleh malaikat. Tanpa sadar, setiap saat kita merekam jejak hidup, dan rekaman itu tak akan kena virus lalu terhapus. Sayyidina Ali bin Abi Thalib berpesan : “Bi’sal-zad ilal-ma’ad azh-zhulmu ‘alal ‘ibad”, bekal yang paling buruk buat mudik di hari kiamat adalah berbuat dzalim kepada sesama manusia.

Selamat datang kematian, selamat mudik menghadap Tuhan! Hidup dan mati adalah kehendak dan milik Tuhan. Manusia terlalu sombong untuk merasa tahu semua rahasia alam dan kebesaran Tuhan. Manusia terlalu angkuh dan picik jika tidak mau dan tidak mampu menyukuri kasih dan anugerah Allah yang terhampar di setiap sudut planet dan ruang kehidupan ini. Manusia sungguh mudah tertipu oleh pandangannya yang rabun dan myopic ketika memandang kekayaan, pangkat dan ilmu adalah segala-galanya yang diyakini menjanjikan kebahagiaan dan kemuliaan abadi.

Dalam salah satu ucapan suci, kita diingatkan, “inna lillah wa inna ilayhi raji’un”, kita semua berasal dari Allah dan akan pulang kepada-Nya. Keberhasilan untuk pulang adalah persyaratan untuk menuju kebahagiaan. Karena itulah kita rindu kepada Allah dan ingin kembali pulang kepada-Nya. Bulan Ramadhan adalah bulan agung karena dinisbatkan kepada Tuhan. Jadikanlah puasa Ramadhan sebagai “Madrasah Ruhaniah”,  dengan menjalani latihan-latihan untuk menggeser perhatian kita yang berlebihan pada hawa nafsu, menuju kepada keinginan Tuhan. Berhijrah dari ego, “rumah kita yang sempit”, menuju kembali  Allah, “rumah yang tidak terhingga”. Keluar dari belenggu keinginan diri sendiri (egoisme), untuk pulang menuju keridhaan Ilahi,

Tuhan adalah “kampung halaman” kita,  tempat kembali kita. Jalaluddin Rumi, sang sufi-penyair, berkata : Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah “seruling bamboo” yang tercabut dari rumpunnya. Siulan dan lengkingan seruling laksana jeritan pilu jiwa karena kerinduan untuk kembali kepada-Nya, itulah penderitaan yang berkepanjangan karena hanya mengejar keinginan kita (hawa-nafsu), yang membuat kita lalai dan lupa, tidak dapat kembali ke asal. Wallahu a’lam bis-shawwab.

Daftar Pustaka :

Karam Amin Abu Karam, Hakikat Ibadah Menurut Ibnu ‘Arabi, Alifia Books, Ciputat, 2020.

Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah : Berguru Pada Allah Di Bulan Suci,  Penerbit Mizan, Bandung, 2005.

Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Himpunan Fadhilah Amal, Penerbit Ash-Sahff, Yogyakarta, 2002.

M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996.

Nurcholish Madjid, Tiga Puluh Sajian Ruhani : Renungan Di Bulan Ramadhan, Penerbit Mizan, Bandung, 1998.