Agama dan Pengetahuan: Refleksi untuk Pengantar Integrasi Ilmu

Edisi Jum’at, 22 Maret 2024

AGAMA DAN PENGETAHUAN: REFLEKSI UNTUK PENGANTAR INTEGRASI ILMU

Sulaiman Kurdi

(Dosen Tetap Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin)

Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju.

Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya.

Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin.

Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa

Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”. Dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa”.

Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

Walaupun begitu banyak definisi tentang agama, apalagi di dunia ini kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Pertentangan antara ilmuwan dengan gereja Eropa menyebabkan ilmuwan menjauh dari agama. Namun mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan ketika itu, mereka menjadikan “hati nurani” sebagai alternatif pengganti agama. Selanjutnya mereka menyadari bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai “nurani” terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si B, dan dengan demikian tolak ukur yang pasti menjadi sangat rancu.

Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai. Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia. Walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu sendiri.

Mari mengikuti pendapat tentang agama, bagi Willim James agama adalah: “Segala perasaan, tindakan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai yang ilahi.”

Agama menurut John Locke (1632-1704) adalah “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberitahu kepadaku”.

Quraish Shihab menjelaskan pendapat Mahmud Syaltut menyatakan bahwa “Agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.” Sementara itu, Syaikh Muhammad Abdullah Badran, dalam bukunya Al-Madhal ila Al-Adyan, berupaya untuk menjelaskan arti agama dengan merujuk kepada al-Qur’an. Syaikh Badran memulai bahasannya dengan pendekatan kebahasaan.

Din yang biasa diterjemahkan “agama”, menurut Guru Besar Al-Azhar itu, menggambarkan “hubungan antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua.” Seluruh kata yang menggunakan huruf- huruf dal, ya’ dan nun seperti dain yang berarti utang atau dana yadinu yang berarti menghukum atau taat, dan sebagainya, kesemuanya menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi seperti yang digambarkan di atas.

Jadi, agama adalah “hubungan antara makhluk dan Khaliq-nya.” Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tecermin pula dalam sikap kesehariannya. Lalu bagaimana hubungan agama dengan pengetahuan? Ada empat pandangan mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama yang dianut secara luas antara lain: konflik, independensi, dialog, dan integrasi.

Agama merupakan peraturan untuk manusia, sebab manusia mempunyai dua kelemahan: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua, sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Dari sinilah, agama menetapkan peraturan- peraturan kepada tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secar rinci khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia.

 Manusia memperoleh pengetahuan berkat usahanya sendiri dengan menggunakann potensi yang dianugrahkan Allah kepadanya. Tetapi, dalam kenyataan, terkadang manusia memperoleh pula informasi tanpa ada upaya darinya.

Memperhatikan hal di atas, ilmuwan mengakui bahwa ada dua faktor dalam setiap aksi pengetahuan, yaitu subjek dan objek. Sehubungan dengan proses pemahaman, ada dua kemungkinan proses. Pertama, subjek merangkum objek dengan potensi (alat-alat) yang dimilikinya; kedua, objek yang memperlihatkan dirinya sendiri kepada subjek. Jalur pertama adalah jalur ilmu pengetahuan dan filsafat, sedangkan jalur kedua adalah jalur agama dan yang dikenal dengan istilah wahyu.

Diharapkan ilmu pengetahuan dan filsafat serta agama saling berhubungan satu sama lain sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan yang sempurna.

Wallahu a’lam

Sumber Bacaan

1. M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur’an: tafsir maudhu’i atas berbagai persoalan umat Bandung: Mizan 1998.
2. Lihat Nurchlis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan ( Bandung: Mizan, 1993)
3. Lebih jauh lihat Hanna Djumhana Bustaman “Pengantar: Sebuah Rintisan Psikologi Agama” dalam William James, Perjumpaan Dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia terjemah : Gunawan Admiranto (Bandung: Mizan, 2004)
4. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung, Mizan, 1999)
5. Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer Dan Agama terjemah: Fransiska Borgias M ( Bandung: Mizan, 2002). Bandingkan John F. Haught, Perjumpaan Sains Dan Agama: Dari Konflik ke Dialog terjemah Fransiskus Borgias M ( Bandung: Mizan 2004) ada beberapa pendekatan dalam hubungan sains dan agama yaitu: konflik, kontras, kontak dan konfirmasi