
Sistematika Penulisan Fikih Mazhab Hanbali
SISTEMATIKA PENULISAN FIKIH MAZHAB HANBALI
Penulis: Drs. H. Ruslan, M.Ag
Sekilas Pendiri Mazhab Hanbali
Pendiri mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M. Ketika masih di dalam kandungan sang ibu, kedua orang tuanya bertempat tinggal di Marw. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan al-Saibani. Ibunya bernama shafiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawwadah bin Hind al-Syaibani.
Imam Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam keempat dari fukaha Islam. Ia adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur dan budi pekerti yang tinggi. Nasab Ahmad bin Hanbal bertemu dengan Rasulullah Saw. pada Mazin bin Mu’ad bin Adnan. Ia dikenal dengan nama datuknya, Hanbal, sehingga orang menyebutnya Ibn Hanbal. seorang ulama dengan budi pekerti luhur, terkenal akan sifat wara’, zuhud, dan keamanahannya. Di usia kanak-kanak ia sudah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari bahasa Arab hingga dikenal luas sebagai seorang ahli hadis besar pada masanya. Imam Syafi’i bahkan diriwayatkan pernah belajar hadis kepada Ahmad bin Hanbal. Karena itu pula, kedudukan Imam Ahmad sebagai ahli fikih justru sempat diperselisihkan para ulama.
Sistematika Penulisan Fikih Hanbali
Secara umum, sistematika penulisan fikih Mazhab Hanbali terbagi menjadi lima bagian pokok yang berurutan, yaitu:
Pertama: Ibadat (Hubungan manusia dengan Tuhan)
Kedua: Muamalat (Interaksi sosial dan ekonomi)
Ketiga: Munakahat (Hukum keluarga dan pernikahan)
Keempat: Jinayat (Hukum pidana)
Kelima: Qadha dan Khushumat (Peradilan dan perselisihan)
Dalam menyusun kitab-kitab fikih, para ulama Hanbali—seperti halnya di mazhab lain—tidaklah sembarangan. Mereka merangkai bab-babnya dengan hubungan rasional yang mendalam. Pembahasan tema tentang ibadah yang didahulukan dari tema-tema yang lain cukup beralasan karena memandang urgensi ibadah dalam Islam. Hal ini dianggap sejalan dengan landasan filosofis QS. Al-Dzariyat: 56 bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Sebagai contoh, Ibn Qudamah dalam menulis kitabnya, memulai dengan pembahasan ibadah karena dipandang sebagai tujuan terpenting dan harus didahulukan dari urusan duniawi lainnya. Bagian ini meliputi topik-topik krusial seperti Kitab al-Thaharah (bersuci), Kitab al-Shalat, Kitab al-Shiyam (puasa), Kitab al-Hajj, dan Kitab al-Jihad.
Pembahasan tentang muamalah ditandai dengan Kitab al-Ba’i yang diikuti bab al-Riba wa al-Sharf wa Tahrim al-Hiyal, Bab al-Qardh, Bab al-Rahn, Bab al-Dhaman wa al-Kafalah, Bab al-Hiwalah, Bab al-Shulh wa Ahkam al-Jiwar, Bab al-Wakalah, Bab al-Ijarah, Bab al-Syuf’ah, Bab al-Ju’alah, Bab al-Luqathah, Bab al-Hibah wa al-Athiyah, Kitab al-Washaya dan Kitab al-Fara’idh. Menarik untuk diamati, tiga topik terakhir yakni Bab al-Hibah, Kitab al-Washaya, dan Kitab al-Fara’idh yang dari segi topiknya berbeda dengan pembahasan muamalah lainnya. Barangkali sistematika dan penempatan demikian menggambarkan bahwa mencari rezeki yang disyariatkan melalui transaksi akan menghasilkan kekayaan, yang pada akhirnya harus diatur pemindahannya melalui hibah atau warisan.
Dalam pembahasan kitab al-Nikah terdapat beberapa pembahasan, antara lain: bab mengenai syarat-syarat pernikahan, bab mengenai aib dalam pernikahan, pernikahan orang kafir, mengenai maskawin, mengenai walimah, pergaulan dengan pasangan, kitab al-Khulu’, kitab al-Thalaq, jenis talak sharih dan talak kinayah, sebab-sebab perbedaan bilangan talak, talak di masa akan datang, menggantung talak, takwil dalam bersumpah, keraguan dalam talak, kitab mengenai rujuk, ila’ dan ketentuan-ketentuannya, kitab al-Zhihar, kitab al-Li’an, kitab al-‘Adad, kitab al-Radha’, dan kitab al-Nafaqat. Susunan pembahasan demi pembahasan saling berkesesuaian dan sejenis, tidak ada topik yang tampak asing atau berseberangan. Oleh karena itu, sistematika fikih dalam tema besar pernikahan dapat dikatakan satu padu.
Ketika berbicara mengenai pembahasan pidana, ulama mazhab Hanbali menempatkan kitab al-Jinayat setelah pembahasan muamalah dan pernikahan. Dapat dipahami bahwa setelah manusia mampu memenuhi kebutuhan dasar (makan, minum, pakaian) melalui Muamalat dan menjaga kesucian diri melalui Munakahat, fokus selanjutnya adalah memberikan perlindungan atas hasil-hasil tersebut.
Beberapa pembahasan yang muncul dalam kitab al-Jinayat ini meliputi bab-bab pokok, seperti: syarat-syarat qishash, perihal sumpah, pemaafan dari qishash, Kitab mengenai diyat, luka di kepala dan patah tulang, ‘aqilah serta tanggungjawabnya, mengenai kaffarat pembunuhan, Kitab al-Hudud, hadd zina, hadd qadzf, hukuman peminum khamr, bab ta’zir, potong tangan dalam pencurian, hukuman bagi perampok jalanan, pembangkang dalam peperangan, hukuman bagi pelaku murtad. Pembahasan dilanjutkan dengan kitab mengenai jenis makanan dan penyembelihan, serta diikuti dengan bab tentang nazar.
Pembahasan berikutnya mengenai al-Qadha’ (peradilan) yang meliputi: adab (etika) hakim, jalan hukum dan sifatnya, pembagian harta, tuduhan dan pembuktian, perihal kesaksian, syarat-syarat diterimanya kesaksian, penghalang kesaksian, sumpah dalam tuduhan, dan kitab mengenai iqrar (pengakuan) secara global. Dengan berakhirnya pembahasan pada peradilan dan iqrar (pengakuan), sistematika fikih Hanbali seolah memberikan hitungan duniawi dan sekaligus isyarat perhitungan ukhrawi (akhirat) pada akhirnya serta pengujian terhadap semua yang telah berlalu.
Simpulan: Sebuah Sistematika Fikih yang Logis
Terbukti, para ahli fikih Hanbali menyusun karya mereka dengan mempertimbangkan hubungan rasional antar bab atau antar kitab fikih. Urutan ini bukanlah kebetulan, melainkan alur logis yang beranjak dari prioritas spiritual (Ibadat) menuju pemenuhan kebutuhan duniawi (Muamalat), dilanjutkan dengan fondasi rumah tangga (Munakahat), pengamanan sistem (Jinayat), dan berakhir pada mekanisme penegakan hukum (Qadha).
Inilah jawaban akademik atas tuduhan yang pernah dilontarkan oleh pakar undang-undang modern seperti Dr. Abdurrazaq al-Sanhuri (w. 1391 M) yang sempat menganggap fikih Islam tidak memiliki ide urutan yang jelas. Struktur fikih Hanbali justru membuktikan sebaliknya: sebuah arsitektur hukum yang utuh, koheren, dan dibangun di atas fondasi yang sangat filosofis dan teologis.
DAFTAR BACAAN:
- Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, Sistematika Penulisan Fikih dan korelasinya menurut Mazhab Empat, Diterjemahkan oleh Sayyid Agil Husin al-Mumawwar, Dimas – Semarang, 1993.
- Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, cv. Toha Putera, Semarang.
——————————————
Editor: Miftah Faridh, S.HI, M.HI