Relasi Sinergi Antar Lini untuk Indonesia Menjadi Pusat Wisata Halal Dunia

Edisi Jum’at, 18 Agustus 2023

RELASI SINERGI ANTAR LINI UNTUK INDONESIA MENJADI PUSAT WISATA HALAL DUNIA

Muhammad Syarif Hidayatullah

(Dosen Tetap Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin)

Pada abad 20 ini menjadi sebuah fenomena yang populer dalam rangkaian hubungan internasional yakni arus perjalanan manusia di seluruh dunia yang meningkat secara signifikan sebagai akibat dari meningkatnya perjalanan antarnegara untuk keperluan bisnis dan profesional, pariwisata, belajar ke luar negeri, maupun perpindahan pengungsi untuk menghindari dampak ketidakstabilan pemerintahan di negeri sendiri. Hal tersebut berimplikasi pada manusia di abad ini secara tidak langsung turut serta menjadi partisipan dalam jaringan sosial yang jumlahnya jauh lebih banyak dan kegiatannya jauh lebih luas dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Saat ini pula fenomena yang sedang hangat dan ramai diperbincangkan serta menjadi gagasan pengembangan industri di Indonesia adalah eksistensi pariwisata halal.

Wisata halal sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wisata pada umumnya. Wisata halal merupakan konsep wisata yang memudahkan wisatawan Muslim untuk memenuhi kebutuhan berwisata mereka. Kebutuhan itu antara lain: adanya rumah makan bersertifikasi halal, tersedianya masjid/mushalla di tempat umum, adanya fasilitas kolam renang terpisah antara pria dan wanita, dan lain-lain. Menurut Prof. KH. Ma’ruf Amin Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus wakil presiden terpilih dalam Konferensi Internasional Pariwisata Halal di Kota Mataram (11/10/2019), bahwa perspektif wisata halal bukan merubah objek wisata menjadi halal, melainkan halal yang dimaksud adalah penyediaan pangan yang disajikan dalam restoran, ketersediaan tempat ibadah dan hotel yang dapat memiliki standar kehalalan. Jadi layanannya yang diberi kehalalannya.

Indonesia sebagai Pusat Wisata Halal Dunia: Peluang Besar dan Potensi Menjanjikan

Indonesia adalah negara dengan penduduk penduduk Muslim terbesar dunia. Berdasarkan data Globalreligiousfutures, jumlah penduduk Indonesia pada 2010 yang beragama Islam (muslim) sebanyak 209,12 juta jiwa atau setara 87,17% dari total penduduk yang mencapai 239,89 juta jiwa. Kemudian menurut data yang dilansir oleh The Pew Forum on Religion & Public Life tahun 2012, penganut agama Islam di Indonesia sebesar 209,1 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk, persentase ini selaras dengan data dari Portal Informasi Indonesia (https://www.indonesia.go.id) yakni 87,2 persen. Sehingga dengan begitu memiliki peluang besar dan potensi menjanjikan untuk mengembangkan wisata halal.

Pada tahun 2018, Mastercard-CrescentRating meluncurkan hasil studi Global Muslim Travel Index (GMTI) yang menempatkan Indonesia berada di peringkat kedua sebagai destinasi wisata halal populer di dunia. Indonesia berhasil naik satu peringkat dari tahun 2017, namun tetap di bawah Malaysia yang berada di peringkat pertama. Indonesia juga menduduki peringkat yang sama bersama Uni Emirat Arab. Dan pada akhirnya di tahun 2019 Indonesia kembali menorehkan prestasi di level internasional dengan diraihnya peringkat pertama sebagai destinasi wisata halal dunia versi GMTI (Global Muslim Travel Index) 2019, yang diumumkan oleh CrescentRating – Mastercard. Penobatan tersebut diberikan langsung oleh Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 dan mengungguli 130 destinasi dari seluruh dunia.

Prestasi ini merupakan angin segar yang tidak hanya dirasakan oleh Kementerian Pariwisata saja selaku Kementerian yang menangani pengembangan wisata halal di Indonesia, namun juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Setelah lima tahun fokus pada pengembangan pariwisata halal, Indonesia akhirnya mampu menunjukkan potensinya sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia. Pencapaian ini mendeskripsikan komitmen pemerintah melalui Kementrian Pariwisata yang bersinergi dengan MUI dan semua stakeholder dalam pengembangan destinasi wisata halal di Indonesia. Upaya Indonesia untuk mencapai posisi terbaik dilakukan secara serius di antaranya dengan membuat Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) yang mengacu pada standar GMTI. Laporan GMTI menganalisis berdasarkan 4 kriteria penilaian strategis, yaitu Akses, Komunikasi, Lingkungan, dan Layanan. Maka IMTI juga mengadopsi hal serupa.Selain itu, Indonesia juga kemudian gencar melakukan bimbingan teknis (bimtek) dan workshop 10 destinasi pariwisata halal unggulan di Tanah Air.

Pengembangan pariwisata halal Indonesia merupakan salah satu program prioritas Kementerian Pariwisata yang sudah dikerjakan sejak lima tahun yang lalu. Data GMTI 2019 menunjukkan bahwa hingga tahun 2030, jumlah wisatawan muslim (wislim) diproyeksikan akan menembus angka 230 juta di seluruh dunia. Selain itu, pertumbuhan pasar pariwisata halal Indonesia di tahun 2018 mencapai 18%, dengan jumlah wisatawan muslim (wislim) mancanegara yang berkunjung ke destinasi wisata halal prioritas Indonesia mencapai 2,8 juta dengan devisa mencapai lebih dari Rp 40 triliun. Mengacu pada target capaian 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang harus diraih di tahun 2019, Kementerian Pariwisata menargetkan 25% atau setara 5 juta dari 20 juta wisman adalah wisatawan muslim.

Menurut Tommy Singgih Direktur Mastercard Indonesia, bahwasanya pasar wisata halal merupakan salah satu segmen pariwisata dengan tingkat pertumbuhan tercepat di seluruh dunia. Proyeksinya, pada 2020 kontribusi sektor pariwisata halal melonjak hingga 35% menjadi US$ 300 miliar terhadap perekonomian global atau meningkat dari US$ 220 miliar pada 2016.

Kemudian menurut data The State of the Global Islamic Economy Report 2018-2019 mencatat, total pengeluaran belanja masyarakat  muslim dunia pada 2017 di berbagai sektor halal, seperti makanan dan minuman, farmasi dan kosmetik halal, busana halal, wisata halal, media dan hiburan halal, dan keuangan syariah mencapai US$2,1 triliun. Angka tersebut diperkirakan akan terus tumbuh hingga US$3 triliun pada 2023. Faktor utama yang mendorong fenomena tersebut adalah peningkatan jumlah penduduk muslim di dunia yang telah mencapai 1,84 miliar orang pada 2017 dan diperkirakan akan terus meningkat hingga 27,5 persen dari total populasi dunia pada 2023, bahkan mungkin saja lebih daripada itu pertumbuhannya.

Peluang inilah yang ditangkap oleh Kementerian Pariwisata, dan ditindaklanjuti dengan pengembangan 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional di tahun 2018 yang mengacu standar GMTI, antara lain: Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (Malang Raya), Lombok, dan Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya). Tahun ini, penguatan destinasi pariwisata halal dilakukan dengan menambah keikutsertaan 6 Kabupaten dan Kota yang terdapat di dalam wilayah 10 Destinasi Halal Prioritas Nasional, yaitu Kota Tanjung Pinang, Kota Pekanbaru, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur.

Lembaga pemeringkat Mastercard-Crescent menempatkan Indonesia pada peringkat pertama standar GMTI dengan skor 78, bersama dengan Malaysia yang sama-sama berada di ranking teratas. Sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia, Indonesia tercatat mengalami peningkatan secara berjenjang dari ranking 6 di 2015, ranking 4 di 2016, ranking 3 di 2017, ranking 2 di 2018, akhirnya Indonesia menduduki peringkat 1 GMTI di 2019. Rincian 10 besar ranking dan skor negara destinasi wisata halal terbaik dunia versi GMTI 2019: Indonesia (78), Malaysia (78), Turki (75), Arab Saudi (72), Uni Emirat Arab (71), Qatar (68), Maroko (67), Bahrain (66), Oman (66), Brunei Darussalam (65).

Penguatan Basis Destinasi Wisata Halal dengan Relasi Sinergi antar Lini

Pariwisata merupakan salah satu sektor penghasil devisa terbesar Indonesia, yang mencapai lebih dari 20 miliar atau setara dengan 17,36 % dalam artian memiliki potensi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Kementerian Pariwisata mencatat, jumlah wisatawan Indonesia pada Januari-November 2018 lebih dari 288,17 juta jiwa yang melakukan perjalanan wisata. Sedangkan menurut BPS, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia Agustus 2018 naik 8,44 % dibanding jumlah kunjungan pada Agustus 2017, yaitu dari 1,39 juta kunjungan menjadi 1,51 juta kunjungan. Beberapa tahun terakhir yang menjadi sorotan pemerintah pada sektor pariwisata adalah perkembangan pariwisata halal di dunia, yang semakin pesat seiring dengan kebutuhan akan destinasi halal pada masyarakat muslim dunia. Hal ini dapat dilihat dari 6,8 milyar lebih penduduk dunia, tercatat tidak kurang dari 1,57 milyar atau sekitar 23 % adalah muslim.

Memperhatikan hal demikian dengan adanya peluang besar dan potensi menjanjikan Indonesia sebagai pusat wisata halal dunia, Apalagi di tahun 2019 Indonesa telah mendapatkan penghargaan dalam skala internasional dengan diraihnya peringkat pertama sebagai destinasi wisata halal dunia versi GMTI (Global Muslim Travel Index), maka diperlukan upaya yang berkelanjutan dan masuk program prioritas untuk akselerasi pengembangan wisata halal di Indonesia, sebab zaman terus berkembang secara dinamis dan telah sampainya kita pada era globalisasi dan disrupsi dengan revolusi industri 4.0. Langkah strategis dapat ditempuh dengan penguatan basis destinasi, standarisasi layanan, regulasi sebagai payung hukum, kesiapan daerah tempat wisata halal, fasilitas penunjang, pemasaran dan manfaat yang terbaik bagi traveler muslim yang berwisata di Indonesia. Maka dari itu diperlukan adanya akselerasi pengembangan wisata halal di Indonesia.

Relasi sinergi antar lini perlu dan sangat penting dilakukan sebagai upaya pengembangan yang aktif dan kontiunitas yang masuk skala prioritas. Ini menjadi aspek fundamental agar Indonesia dapat menjadi pusat wisata halal dunia. Di tahun ini Pemerintah Indonesia telah meresmikan dan meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, yang merekomendasikan empat langkah dan strategi utama. Masterplan ini adalah peta jalan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia guna mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.  Empat langkah dan strategi utama yang direkomendasikan dalam MEKSI, yakni:

Pertama, penguatan halal value chain dengan fokus pada sektor yang dinilai potensial dan berdaya saing tinggi. Kedua, penguatan sektor keuangan syariah dengan rencana induk yang sudah dituangkan dalam Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) sebelumnya dan disempurnakan ke dalam rencana induk ini. Ketiga, penguatan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai penggerak utama halal value chain. Keempat, penguatan di bidang ekonomi digital utamanya perdagangan (e-commerce, market place) dan keuangan (teknologi finansial) sehingga dapat mendorong dan mengakselerasi pencapaian strategi lainnya.

Dapat kita lihat bahwa industri halal telah masuk dalam program dan strategi utama dan didalamnya termasuk pengembangan wisata halal. Ini menunjukkan adanya komitmen dari pemerintah dalam hal ini presiden, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata pula akan terus membenahi destinasi wisata halal, seperti restoran, hotel, travel dan fasilitas penunjang lainnya. Pemerintah pula sebelumnya telah menghadirkan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) melalui rekomendasi Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah (MAKSI)  di tahun 2016 yang KNEKS yang hadir sebagai katalisator dalam upaya mempercepat, memperluas dan memajukan pengembangan ekonomi syariah dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi nasional. Ini adalah tindakan yang tepat dengan mendapat dukungan dari lini pemerintah. Namun lebih dari itu, relasi sinergi haruslah komprehensif.

Selain dukungan pemerintah, maka perlu juga sinergitas antara pariwisata halal dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) khususnya sektor perbankan syariah. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk data terakhir Juni 2018, market share keuangan syariah memang sempat mencapai 8,47% atau setara US$83,62 miliar dari total aset keuangan Indonesia. Total capaian ini diperoleh dari kontribusi perbankan syariah sebesar 5,7%, LKNB syariah sebesar 4,69%, dan pasar modal syariah sebesar 15,28%. Hingga awal 2019, market share perbankan syariah nasional hanya mampu mencapai 5,94%. Market share (pangsa pasar) perbankan syariah sebelumnya sempat di atas 6% dibanding total perbankan nasional. Tetapi pada awal tahun ini kembali turun di bawah 6%. Dengan bank syariah berupaya maksimal menjangkau para pelaku industri halal khususnya destinasi wisata halal dan menjalin relasi sinergi, maka akan memberikan manfaat yang besar dan signifikan baik bagi bank syariah maupun pariwisata halal. Muncullah dua pengembangan yang berjalan beriringan yakni industri halal melalui pariwisata halal dan keuangan syariah melalui bank syariah.

Eksistensi bank syariah dapat membantu pengembangan pariwisata halal dengan menyalurkan pembiayaan syariah berbasis kerja sama dengan akad mudharabah (bagi hasil) maupun musyarakah (perserikatan) baik itu nisbah bagi hasil berdasarkan revenue sharing maupun profit sharing kepada para pelaku industri halal yang menunjang fasilitas pariwisata halal seperti pengusaha hotel syariah dan restoran halal. Relasi sinergi dengan penguatan basis kerja sama seperti ini antara bank syariah dan industri wisata halal menjadi langkah strategis untuk pengembangan yang berkesinambungan.

Pariwisata halal juga tidak lepas dari peran Majelis Ulama Indonesia. MUI terus mendorong dan menopang perkembangan industri halal di Indonesia. KH. Ma’ruf Amin Ketua Umum MUI sekaligus Wakil Presiden Terpilih menyatakan bahwasanya lebih dari 50 lembaga sertifikasi halal dunia mengacu pada standar MUI. Karena itu, MUI telah banyak memberi pengakuan kepada lembaga halal di luar negeri. Di antaranya, Sincung halal for Taiwan. Lembaga tersebut merupakan lembaga yang mewakili MUI di Taiwan. Selain di Taiwan, ada juga di negara Korea dengan nama ‘Ini Halal Korea’. Untuk itu, MUI memiliki kepentingan untuk mengembangkan wisata halal bersama dengan kementerian pariwisata.

Untuk membantu menjadikan Indonesia sebagai pusat wisata halal dunia juga harus ditopang oleh pergerakan organisasi basis ekonomi syariah seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Forum Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam (FORDEBI), Perkumpulan Program Studi dan Dosen Hukum Ekonomi Syari’ah Indonesia (POSDHESI), Komunitas Pengusaha Muslim  Indonesia (KPMI) dan organisasi serta komunitas ekonomi syariah lainnya yang akan banyak membantu dalam hal komunikasi, interaksi, sosialisasi, edukasi dan konseptualisasi pada eksistensi dan pengembangan industri wisata halal. Sebab pengembangan industri wisata halal juga termasuk basis pengembangan ekonomi syariah.

Diupayakan relasi sinergi antar lini merupakan langkah strategis menjadikan Indonesia sebagai pusat wisata halal dunia dengan pengembangan yang sifatnya aktif dan berkelanjutan serta harus masuk skala program prioritas. Relasi sinergi antar lini haruslah komprehensif, yakni lini regulasi dan formulasi dukungan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan (eksekutif dan legislatif), program kementerian terkait dan peran KNEKS, lini distribusi permodalan syariah melalui penyaluran pembiayaan produktif berbasis kerja sama dan prinsip bagi hasil dari bank syariah kepada pelaku industri halal termasuk pengembangan destinasi wisata halal, lini sertifikasi dan standarisasi layanan halal melalui peran MUI dan lini pergerakan kolektif dari masyarakat melalui eksistensi organisasi-organisasi ekonomi syariah yang membantu dalam taraf sosialisasi dan edukasi. Dengan relasi sinergi antar lini, maka akselerasi untuk Indonesia menjadi pusat wisata halal dunia di tengah kompetisi global akan dapat beralih dari ekspektasi menjadi realisasi.